Minggu, 24 Oktober 2010

Antiepilepsi…….fenitoin aja……


SITI AMIYAKUN
04 07 1597
A/KP/VII

Epilepsi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit susunan saraf pusat yang timbul spontan dengan episoda singkat (disebut bangkitan atau seizure); dengan gejala utama kesadaran menurun sampai hilang. Bangkitan ini biasanya disertai kejang (konvulsi), hiperaktivitas otonomik, gangguan sensorik atau psikik dan selalu disertai gambaran letupan EEG abnormal dan eksesif. Berdasarkan gambaran EEG, epilepsi dapat dinamakan distrimia serebral yang bersifat paroksismal. Serangan ditandai dengan reaksi motorik abnormal (kejang tonik, kejang tonik-klonik, tarikan otot, reaksi stereotip) dan/atau gangguan kesadaran atau hilangnya kesadaran serta kadang-kadang terjadi juga peningkatan reaksi vegetatif. Naiknya keterangsangan suatu neuron ditandai dengan ketidakstabilan potensial membran dan muatan cenderung untuk hilang secara spontan. Ini dapat disebabkan berbagai hal : Pengaruh pada pompa Na + -K+ akibat defisiensi energi (misalnya akibat hipoglikemia, hipoksia, inhibitor enzim) turunnya potensial membran akibat gangguan elektrolit, depolarisasi membran sel akibat naiknya konsentrasi neurotransmiter inhibisi,atau gagalnya sinapsis inhibitorik.

Pemberian obat antiepilepsi selalu dimulai dengan dosis rendah, dinaikan bertahap sampai epilepsi terkendali atau terjadi efek kelebihan dosis. Frekuensi pemberian biasanya didasarkan atas waktu paruh plasma. Obat yang mempunyai waktu paruh lama, seperti fenobarbiton dan fenitoin, dapat diberikan sekali sehari menjelang tidur. Kadang obat perlu diberikan 3 kali sehari, untuk menjaga agar kadar plasmanya tidak terlalu tinggi, sehingga terhindar dari efek sampingnya. Anak-anak biasanya diberikan lebih sering dan dosisnya relatif lebih tinggi per Kg berat badan , karena cepatnya mereka memetabolisir obat.
Obat antiepilepsi terbagi dalam 8 golongan. Empat golongan antiepilepsi mempunyai rumus dengan inti berbentuk cincin yang mirip satu sama lain yaitu golongan hidantoin, barbiturate, oksazolidindion dan suksinimid.
GOLONGAN HIDANTOIN
Hidantoin merupakan senyawa laktam dari asam ureidoasetat (2,4-diokso-imidazolidin). Untuk mendapat senyawa yang berkhasiat antiepileptik,sama seperti pada senyawa barbiturat, harus ada sekurang-kurangnya satu penyulih aril atau aralkil pada C-5.
Keuntungan dari senyawa ini adalah bahwa ia bekerja antikonvulsif kuat dan berbeda dari barbiturat,hanya bersifat sedatif lemah, malahan kadang-kadang bersifat stimulan. Karena kerja obat dimulai dengan lambat, dan kemampuan untuk memetabolisme fenitoin amat beragam antar individu maka dosis harian hanya dapat dinaikan dengan perlahan-lahan. Biasanya berminggu-minggu sebelum digunakan dosis terapi penuh.
Dalam golongan hidantoin dikenal 3 senyawa antikonvulsi: fenitoin (difenilhidantoin), mefenitoin, dan etotoin dengan fenitoin sebagai prototipe. Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi, kecuali bangkitan lena. Adanya gugus fenil atau aromatic lainnya pada atom C5 penting untuk efek pengendalian bangkitan tonik-klonik; sedangkan gugus akil bertalian dengan efek sedasi, sifat yang terdapat pada mefenitoin dan barbiturate, tetapi tidak pada fenitoin. Adanya gugus metil pada atom N3 akan mengubah spektrum aktifitas misalnya mefenitoin, dan hasil N demetilasi oleh enzim mikrosom hati menghasilkan metabolit tidak aktif.
FARMAKOLOGI :
Fenitoin berefek antikonvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP. Dosis toksik menyebabkan eksitasi dan dosis letal menimbulkan regiditas deserebrasi. Sifat antikonvulsi fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsangan dari fokus ke bagian lain di otak. Efek stabilisasi membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada saraf tepi dan membran sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sistem konduksi di jantung. Fenitoin juga mempengaruhi perpindahan ion melintasi membran sel; dalam hal ini, khususnya dengan mengiatkan pompo Na+ neuron.
Bangkitan tonik-klonik dan beberapa bangkitan parsial dapat pulih secara sempurna. Gejala aura sensorik dan gejala prodromal lainnya tidak dapat dihilangkan secara sempurna oleh fenitoin.

FARMAKOKINETIKA :

Absorpsi fenitoin yang diberikan per oral berlangsung lambat, sesekali tidak lengkap; 10% dari dosis oral diekskresi bersama tinja dalam bentuk utuh. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam 3-12 jam. Bila dosis muatan (loading dose) perlu diberikan, 600-800 mg, dalam dosis terbagi antara 8-12 jam, kadar efektif plasma akan tercapai dalam waktu 24 jam. Pemberian fenitoin secara i.m,menyebabkan fenitoin mengendap ditempat suntikan kira kira 5 hari,dan absorpsi berlangsung lambat. Fenitoin didistribusi keberbagai jaringan tubuh dalam kadar yang berbeda-beda. Setelah suntikan i.v, kadar yang terdapat dalam otak, otot skelet dan jaringan lemak lebih rendah daripada kadar didalam hati, ginjal dan kelenjar ludah.
Pengikatan fenitoin oleh protein, terutama oleh albumin plasma kira-kira 90 %. Pada orang sehat, termasuk wanita hamil dan wanita pemakai obat kontrasepsi oral, fraksi bebas kira-kira 10 %; sedangkan pasien dengan penyakit ginjal, penyakit hati atau penyakit hepatorenal dan neonatus fraksi rata-rata diatas 15 %. Pada pasien epilepsi, fraksi bebas berkisar antara 5,8% – 12,6%. Fenitoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga kerjanya bertahan lebih lama; tetapi mula kerja lebih lambat daripada fenobarbital. Biotransformasi terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh mikrosom hati. Metabolit utamanya ialah derivate parahidroksifenil. Biotransformasi oleh enzim mikrosom hati sudah mengalami kejenuhan pada kadar terapi, sehingga peninggian dosis akan sangat meningkat kadar fenitoin dalam serum secara tidak proporsional. Oksidasi pada satu gugus fenil sudah menghilangkan efek antikonvusinya. Sebagian besar metabolit fenitoin diekskresi bersama empedu, kemudian mengalami reabsorpsi dan biotransformasi lanjutan dan diekskresi melalui ginjal. Di ginjal, metabolit utamanya mengalami sekresi oleh tubuli, sedangkan bentuk utuhnya mengalami reabsropsi.

INTERAKSI OBAT :
Kadar fenitoin dalam plasma akan meninggi bila diberikan bersama kloramfenikol, disulfiram, , simetidin, dikumarol, dan beberapa sulfonamide tertentu, karena obat-obat tersebut menghambat biotransformasi fenitoin. Sedangkan sulfisoksazol, fenibutazon, salisilat dan asam valproat akan mempengaruhi ikatan protein plasmanya fenitoin sehingga meninggikan juga kadarnya dalam plasma. Teofilin menurunkan kadar fenitoin bila diberikan bersamaan, diduga karena teofilin meningkat biotransformasi fenitoin juga mengurangi absorpsinya.
Interaksinya fenitoin dengan fenobarbital dan kabarmazepin kompleks. Fenitoin akan menurun kadarnya karena fenobarbital menginduksi enzim mikrozom hati, tetapi kadang-kadang kadar fenitoin dapat meningkat akibat inhibisi kompetitif dalam metabolisme. Hal yang sama berlaku untuk kombinasi fenitoin dengan karbamazepin. Karena itu terapi kombinasi harus dilakukan secara hati-hati, sebaiknya diikuti dengan pengukuran kadar obat dalam plasma.


INTOKSIKASI DAN EFEK SAMPING :
Fenitoin sebagai obat epilepsI dapat menimbulkan keracunan, sekalipun relatif paling aman dari kelompoknya. Gejala keracunan ringan biasanya mempengaruhi SSP, saluran cerna, gusi dan kulit,; sedangkan yang lebih berat mempengaruhi kulit, hati dan sumsum tulang. Hirsustisme jarang terjadi, tetapi bagi wanita muda hal ini dapat sangat mengganggu.
Susunan saraf pusat
Efek samping fenitoin tersering ialah diplopia,ataksia dan vertigo, nistagmus. Sukar berbicara (slurred speech) disertai gejala lain, misalnya tremor , gugup, kantuk, rasa lelah, gangguan mental yang sifatnya berat, ilusi, halusinasi, sampai psikotik. Defisiensi folat yang cukup lama merupakan faktor yang turut berperan dalam terjadinya gangguan mental. Efek samping SSP lebih sering terjadi dengan dosis melebihi 0,5 g sehari.
Saluran cerna dan gusi
Nyeri ulu hati, anoreksia, mual dan muntah, terjadi karena fenitoin bersifat alkali. Pemberian sesudah makan atau dalam dosis terbagi, dapat mencegah atau mengurangi saluran cerna.
Kulit
Efek samping pada kulit terjadi pada 2-5% pasien, lebih sering pada anak dan remaja yaitu berupa ruam morbiliform.
Pada wanita muda pengobatan fenitoin secra kronik menyebabkan keratosis dan hirsutisme, karena meningkatnya aktifitas korteks suprarenalis.
Fenitoin bersifat teratogenik. Kemungkinan melahirkan bayi dengan cacat kongenital meningkat menjadi 3 kali, bila ibunya mendapatkan terapi fenitoin selama trimester pertama kehamilan.
INDIKASI :
Fenitoin diindikasikan terutama untuk bangkitan tonik-klonik dan bangkitan parsial atau lokal. Indikasi lain ialah untuk neuralgia trigeminal, dan aritmia jantung. Fenitoin juga digunakan pada terapi renjatan listrik (ECT) untuk meringkan konvulsinya dan bermanfaat pula terhadap kelainan ekstrapiramidal iatrogenik.
DOSIS :
Oral; dosis awal 3-4 mg/Kg/hari atau 150-300 mg/Kg, dosis tunggal atau terbagi 2 kali sehari. Dapat dinaikkan bertahap. Dosis lazim; 300-400 mg/hari, maksimal 600 mg/hari. ANAK; 5-8 mg/Kg/hari, dosis tunggal/ terbagi 2 kali sehari. Status epileptikus; i.v lambat atau infuse, 15 mg/Kg, kecepatan maksimal 50 mg/menit (loading dose). Pemeliharaan sekitar 100 mg diberikan sesudahnya, interval 6-8 jam. Monitor kadar plasma. Pengurangan dosis berdasarkan berat badan.

Daftar Pustaka :
Anonim, 1995, Farmakologi dan Terapi Edisi IV, 165-168, Universitas Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 152-154, Depkes RI, Jakarta.
Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat, 170-173, Penerbit ITB, Bandung

1 komentar: